Selembar halaman Istimewa
Juli Elisabet Gurning, kls X-1, SMA N.
4 P.SIANTAR
Ketika senja telah
memasuki gerbang malam yang telah terbuka lebar seakan ingin meneriaki si
penulis agar si penulis meninggalkan senja itu. Si penulis itu pun seakan mendengar
teriakan senja tersebut dan akan menuruti nya.
Si
penulis akhirnya mengangkat
tubuhnya, ingin meninggalkan taman yang sejak 3 jam tadi digunakannya sebagai
tempat berdiam, si penulis memandang sejak fajar masih menunjukkan tubuhnya di
hamparan langit untuk menerangi tatapan si penulis.
Akhirnya si penulis pun melangkahkan kakinya
menyusuri taman dengan tapak kakinya yang kuat dan tidak ada cahaya sedikitpun
yang terpancar dari sang langit, seakan ingin sembunyi dari si penulis.
Sesampainya si penulis di halaman rumahnya, si
penulis melakukan hal yang selalu dilakukannya dikalah hatinya kesepian, dan
dalam 2 minggu ini si penulis tidak pernah absen melakukan hal tersebut.Kebisaan
itu merupakan hal yang sangat menyakitkan tapi tidak bagi si penulis. Si
penulis menancapkan duri bunga mawar dengan sangat dalam ke telapak tangannya
sendiri, sambil menatap dalam dan sangat-sangat dalam luka
yang sangat menyakitkan itu, seakan si penulis sedang menatap seseorang.
Kemudian si penulis secara sangat cepat masuk ke
rumahnya yang sangat gelap, si penulis duduk disofa sambil mengambil beberapa
novel sastra dari kamarnya dan juga beberapa pensil yang kurang lebih berukuran
10 cm lengkap dengan penghapus juga rautan kayu yang selalu digunakan, dirawat,
dan disimpannya setelah kurang lebih 15 tahun.
Akhir-akhir
ini mungkin si penulis memiliki masalah yang baginya sangat-sangat besar,
bahkan baginya inilah yang tebesar dalam sejarah hidupnya. Disudut kamar si
penulis meletakkan lemari kecil yang terbuat dari kayu Jepara berukuran 1 m
yang kuncinya sangat rapat. Bahkan dalam membukanya butuh waktu lebih dari 1
jam.
Untuk pertama kalinya si penulis menderita tekanan atau depresi yang
amat berat yang seakan selalu menyeret tubuhnya yang sangat lemah tapi ‘kuat’
itu seakan selalu ingin ikut untuk mengikuti arah tekanan atau depresinya tanpa
mengabaikannya sedikitpun. Sepertinya masalah yang dialami seorang penulis saat
ini hampir membuatnya kehilangan akal sehat dan tidak mau berkomunikasi dengan
siapapun dan tidak tahu sampai kapan hal ini akan terjadi.
Si penulis pun lalu melangkahkan kakinya dengan
lambat, lambat..dan sangat-sangat lambat, seakan ada magnet berbeda kutub yang
menarik tubuh lemahnya yang hampir terjatuh itu. Hingga sepasang kakinya telah
sampai dihadapan lemari Jepara kecil itu. Ia membuka dengan sangat cepat lemari
itu....
Lalu,1 jam hampir berakhir, lemari yang sudah sangat
terlihat tua itu pun mulai mengeluarkan suara engsel nya yang khas seakan
pertanda bahwa si lemari sudah mulai membuka tubuhnya untuk si penulis sang
majikannya yang selalu membuka pintunya.
Lemari itu sepertinya tidak keberatan bila isi dalam tubuhnya diambil oleh si
penulis itu. Dan mungkin si lemari itu ingin cepat-cepat dibukakan pintunya
oleh si penulis
Akhirnya,
si penulis mengambil sebuah kotak hitam yang kusam berwarna hitam pekat , dia
pun mulai merasakan bahwa kotak hitam itu sangatlah kotor. Si penulis tersebut
pun segera membersihkan kotak hitam tadi dengan bajunya yang berwarna coklat .
Perlahan demi perlahan di usapnya lah kotak itu sampai bersih, dang mungkin itu
sangat-sangat bersih, ia mengenakan kembali baju coklat pemberian abahnya yang
dipakainya membersihkan kotak tadi. Mungkin saja si baju sangat ingin bebas
dari siksaan si penulis karena inilah kali pertamanya si penulis membuka baju
itu, hanya saja si baju tidak bisa mengungkapkannya kepada si penulis.
Dengan penuh rasa cemas, si penulis yang wajahnya
sudah dipenuhi keringar itu mulai membuka kotak hitam itu. Sedikit demi sedikit
hingga kotak itu terbuka semua. Didalamnya, ia mengambil sebuah buku yang
sangat tebal, kira-kira 15 cm.
Buku itu adalah buku pertama dari puluhan buku yang
sudah ditulisnya,
Buku itu diletakkannya tepat didepan matanya, ia
menatap buku itu dengan sangat tajam,seperti mencoba untuk membangunkan buku
itu dari tidurny a yang sudah hampir memasuki 14 hari. Tidak sadar, satu
persatu air mata si penulis pun jatuh, ia mengenang waktu saat menulis buku itu. Dibuku itu tertulis semua kenangan manis
maupun pahit dia bersama abahnya, yang selalu menemani kehidupannya yang kurang
lebih ditulisnya selama 15 tahun .
Dengan hati-hati dia membuka satu persatu lembar
lembar buku tersebut.
Di lembaran
awalnya tertulis rangkaian kata kata :
“Pada hari
ini, Selasa 22, Juli-1975 aku mulai menulis, dan aku berjanji untuk memberi
kejutan pada abah dengan memberi buku ini padanya pada tanggal 22, Juli-2000
tepatnya pada hari ulang tahunku yang ke 25 tahun, aku berjanji tidak akan
memperlihatkan ini kepada abah sebelum waktunya, aku berjanji akan merahasiakan
ini kepada abah, aku berjanji supaya menjaga selalu abah, bersama abah, selalu
baik suka maupun duka, dan intinya aku harus membaca ini sebelum menulis
lembaran-lembaran ini”.
Dibuku tersebut si penulis menuliskan setiap hal
yang dialaminya bersama abahnya setiap hari.
Si
penulis adalah anak laki-laki yang hanya dibesarkan oleh seorang abahnya,
abahnya kehilangan seorang istri yang sangat dicintainya yang dahulu mengandung
si penulis anaknya.
Istri dari
abahnya pergi menghadap Penciptanya saat
dalam melahirkan si penulis.Jadi si penulis hanya dibesarkan oleh abah yang
hanya bekerja sebagai ahli pembentuk kayu yang sangat ramah dan baik.
Sewaktu
si penulis kedatangan bulan lahirnya yaitu pada hari ulang tahunnya, tepatnya
pada umur 10 tahun di tanggal 22 Juli 1985, abahnya memberikannya sebuah buku
yang amat tebal sebagai hadiah ulang tahunnya, kala itu dia sangat jenius, anak
yang gemar membaca dan menulis, tapi sayang kehidupan mereka yang serba
kekurangan tidak cukup untuk bisa menyekolahkannya. Abahnya hanya sanggup
membelikan buku tersebut kepada si penulis yang sangat jenius itu.
Setiap hari, pukul 09:00, si penulis menuliskan apa
saja yang dilakukannya dengan abahnya dalam 1 hari tersebut. Si penulis
menuliskan tulisannya itu minimal 3
paragraf dalam sehari, 21 paragraf dalam seminggu, 84 paragraf dalam
sebulan, 1008 paragraf dalam setahun dan kurang lebih 15000 paragraf dalam
kurang lebih 15 tahun.
Itulah kebiasaanya sehari-hari, si penulis tidak
penah sekalipun absen dalam menuliskan di lembaran-lembaran buku yang tebal
itu. Dan dalam 15 tahun tersebut dia tidak sekalipun memberitahu hal tersebut
kepada abahnya.
Sebenarnya
sejak lahir, si penulis menderita cacat fisik yaitu buta mata sebelah kanan.
Dan abahnya pun mengetahui penyakit tersebut setelah si penulis telah berumur 5
tahun. Si penulis menyayangi abahnya lebih dari apapun. Abahnya telah mengikhlaskan
salah satu kornea matanya untuk di pindahakan ke mata si penulis.
Itu pun si penulis mengetahuinya dari salah satu
tetangganya. Si penulis pun sangat berterima kasih kepada abahnya, dikala itu.
Karena itulah si penulis tidak mau dan tidak pernah menyusahkan abahnya.
Setelah
si penulis mulai menulis buku tebal itu, si penulis menjadi lebih rajin
menggoreskan pensil-pensil hitam nya ke atas kertas putih, abahnya sering
membelikannya buku-buku kosong yang murah lengkap dengan penghapus putih, dan
rautannya dibuat secara langsung oleh tangan abahnya.
Satu kali dalam seminggu si penulis menuliskan
cerita-cerita dongeng, cerita-cerita khayalan, dan masih banyak lagi buku-buku
“mahal” yang ditulis oleh tangan kecilnya pada masa itu. Buku-buku yang penuh
dengan imajinasi itu, dia simpan selalu di bawah tikar yang menjadi alas peristirahatannya
dengan abahnya dikalah badan lelah dan ngantuk.
Si penulis adalah
seorang anak yang memiliki imajinasi yang sangat tinggi, dia bisa menuliskan
buku tetapi hal tersebut pun belum pernah dia lihat. Sampai umurnya 20 tahun
pada 22, Juli 1995 dan pada hari itu tepat pada peringatan hari kelahirannya
sekaligus sebagai hari peringatan 20 tahun kepergian Ibunda nya yang melahirkan
si penulis.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya ia
menuliskan 1 novel yang berjudul “ Aku mencintai yang tidak kulihat’’ yang
semua menceritakan tentang Ibundanya yang telah tiada , yang telah pergi
meninggalkan dunia saat melahirkan si penulis ke dunia. Ia merangkai kata-kata
dengan sangat luar biasa dan bahkan dalam paragraf ketiganya bila di baca
mungkin lari dari akal pikiran manusia. Pada saat setelah
sebulan si penulis menuliskan novel yang luar biasa itu, ia pergi ke sebuah tempat
dimana tidak ada masalah, yaitu tempat peristirahatan terakhir orang-orang. Ia
berjalan menuju makam yang namanya bertuliskan Maya Erika. Ia duduk di makam
itu dan berdoa sendiri. Lalu ia menggali lobang di makam itu berdiameter kurang
lebih 20 cm. Lalu di lobang tersebut di masukkannya novel yang indah yang sudah
ia tulis kedalamnya. Dan menutupnya dengan tanah kembali.
Saat ia selesai melakukan hal tersebut, ia kembali
berdoa. Selesai ia melakukan semuanya, dengan wajah yang merah, ia berdiri dan
berjalan menapaki tanah-tanah basah sehabis hujan dan kembali menuju rumah.
Di
rumah, setelah sampai, dia pergi ke dapur. Ia merasa sangat-sangat haus. Saat
setelah dia sampai di dapur, matanya melihat abahnya sedang menggenggam plastik
biru yang tidak tembus pandang. Ia melangkahkan kaki dan bertanya, “Apa itu yang abah genggam abah?”, “Ah,ini tidak apa nak.....jawabnya dengan
agak batuk.
Si penulis merasa sangat curiga dengan isi plastik
tersebut, dan si penulis berniat ingin
mengambil plastik itu dikalah abahnya nanti meninggalkan plastik tersebut di
atas meja.
Dan tepat sekali perkiraan si penulis. Abahnya
meninggalkan plastik tersebut. Dan dengan sigap, si penulis menghampiri meja
itu.
Dengan penuh pertanyaan si penulis ingin membuka
plastik tersebut dan sesaat si penulis
membuka plastik berwarna biru tersebut, dia menemukan obat-obatan yang
banyak dan si penulis sangat bigung. Ia tidak mengerti obat apa saja itu.
Berminggu-minggu
berjalan, si penulis menjalani hari-harinya menjadi buruk dan mereka semakin miskin.
Abahnya sangat lemah, abahnya hanya bisa terbaring di tikar sementara dia harus
kerja menjadi bertambah kesibukannya dalam menulis karena sudah sangat banyak
kopian novelnya yang terjual untuk keperluan maupun kebutuhan mereka berdua.
Semakin hari dan semakin hari, abahnya menjadi
sangat-sangat lemah. Si penulis terus berjuang menulis dan menulis dan hanya
menulis lah sekarang harapan hidupnya untuk membelikan obat untuk ayahnya juga
dia sangat berharap membawa abahnya ke rumah sakit.
Dia tidak sanggup melihat abahnya yang selalu merasa
kesakitan.
3 tahun berjalan dia menjadi banyak dikenal orang
oleh karena tulisan-tulisannya yang sangat luar biasa itu. Akhirnya dia
memiliki cukup uang untuk membawa abahnya cek kesehatan ke Rumah Sakit. Dan
betapa teririsnya hatinya ketika si penulis tahu bahwa abahnya menderita
penyakit Radang selaput otak dan penyakit tersebut adalah salah satu penyakit
yang sangat-sangat sulit untuk di sembuhkan. Si penulis terus berusaha keras
atas kesembuhan abahnya dari penyakit yang amat sangat ganas itu.
Si penulis tiap hari menjadi sangat sibuk dan dia
sudah sanggup mengobati ayahnya ke segala Rumah Sakit.
“Abah....abah harus janji ya, akan selalu menjadi
temanku, sahabatku, pendampingku hingga aku sukses. Kita harus menjalani suka
dan duka bersama-sama. Aku akan selalu berada disampingmu abah. Aku akan
berusaha kesembuhan abah”, ucap si penulis sambil mengerat tangan abahnya dan
menatap mata abahnya dengan penuh kasih.
“Ia nak, abah janji akan selalu bersamamu, akan
selalu mendampingimu, dan supaya kau tahu nak...abah tidak merasa kesakitan,
kau tenang saja putraku,”, kata abahnya sambil sedikit batuk.
Dan
dengan sangat-sangat tidak terduga, 1,5 tahun kemudia abah dari si penulis tidak sanggup lagi
menahan penyakit yang sangat berat itu pun pergi menyusul ibunda dari si
penulis menghembuskan nafas terkhir.
Itulah yang membuat si penulis menjadi kehilagan
hasrat untuk berbuat apa-apa. Si penulis terkenal itu sangat terpukul dan
hampir menghancurkan harapan hidupnya dan janjinya kepada dirinya supaya
memberikan Buku Tebalnya tentang sejarah kehidupannya dengan ayahnya selama 15
tahun si penulis menulis.
Disaat si penulis selesai membaca halam terkhir. Ia
menemukan sebuah tulisan tangan pada halaman terakhir yang bertuliskan:
“Nak, abah sudah membacanya ya nak, terima kasih
sudah membuatkan buku tebal yang luar biasa ini kepada abah, abah sangat sayang
padamu nak. Walaupun kamu tidak memberikannya secara langsung, ini sudah lebih
dari apa yang kamu harapkan , jadi jangan sedih. Mungkin abah sudah tiada saat
kamu membaca tulisan ini, tapi ingat, abah selalu ada di hatimu selamanya.
Jangan sedih lagi, supaya abah tidak sedih disini.
Dan maaf ya nak, diam-diam, ketika abah mencari obat di lemari, abah
menemukannya di dalam lemari dan mengambilnya. Semoga kau juga menyayangi abah
disana. Salam Abah tercinta. “
Dan seketika si penulis memeluk erat buku tebal itu
sambil menangis haru menggunakan matanya dan mata abahnya yang diberikan
abahnya dahulu.
Dan halaman terakhir buku itu lah, sebagai Halaman
terakhir Istimewa dalam hidupnya selama-lamanya.